Jumat, 09 Januari 2015

Etika dan Tri Kaya Parisudha



Pengertian Etika dan Tri Kaya Parisudha

Secara etimologi Etika Berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari  kata Ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat, dan  dalam kamus umum bahasa Indonesia etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azas-azas akhlak ( moral ), dari pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia. Adapun pengertian Etika dari segi istilah, telah dikemukaan oleh para ahli dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut Ahmad Amin, Etika adalah ilmu yang menjelaskan tentang arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia., menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat/ dilakukan. Dari definisi tersebut diatas dapat dengan cepat diketahui bahwa etika berhubungan dengan 4 hal yaitu ( Nada Atmaja, 2010 ) : 1. Dilihat dari segi objek pembahasannya etika berupaya untuk membahas tentang perbuatan yang dibahas dan dilakukan oleh manusia. 2. Dilihat dari segi sumbernya etika bersumberkan dari akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, obsolut, dan tidak juga universal. Ia dapat dirubah, memiliki kekurangan, kelebihan, dan sebagainya. Selain itu juga etika memanfaatkan beberbagai ilmu yang membahas perilaku manusia seperti Antropologi, Sosiologi, Ilmu politik, Ilmu ekonomi, dan Sebagainya. 3. Dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu, dan menetapkan terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia. 4. Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yang dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan ciri-ciri yang seperti itu, maka etika merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik dan buruk. Dengan demikian etika sifatnya Humanistis dan Antroposentris yakni bersifat pada  pemikiran manusia dan diarahkan kepada manusia. Dengan kata lain Etika adalah aturan-aturan atau pola tingkah laku yang baik yang dihasilkan oleh akal manusia. Etika merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan oleh manusia untuk dikatakan baik dan buruk. Dengan kata lain aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh manusia, dengan adanya etika pergaulan di dalam masyarakat akan terlihat baik dan buruknya. Etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman, etika memiliki bentuk yang jamak yang sekaligus melatar belakangi terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan masalah moral. Dapat kita lihat dari perbandingan yang dinyatakan oleh K. Bertens terhadap arti kata etika yang terdapat dalam kamus bahasa Indonesia yang baru dengan kamus bahasa Indonesia yang lama. Dari perbandingan itu K. Bertens merumuskan beberapa hal sebagai berikut (Nada Atmaja,2010):
1.      Nilai dan Norma Moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya jika seseorang berbicara etika Agama orang Hindu, Jawa, Budha, Protestan dan sebagainya maka yang dimaksudkan dengan etika bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai yang berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
2.      Ilmu tentang yang baik dan buruk etika baru bisa menjadi ilmu apabila kemungkinan-kemungkinan etis ( asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk ) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering sekali tanpa disadari oleh suatu penelitian yang sistematis dan metodis.

Secara sederhana Tri Kaya Parisudha diartikan sebagai berpikir baik, berkata dan berbuat yang baik. Tri Kaya Parisudha berasal dari akar kata “TRI” yang berarti tiga, “KAYA” berarti perilaku atau perbuatan dan “PARISUDHA” berarti baik, bersih, suci atau disucikan. Jadi Tri Kaya Parisudha berarti tiga perilaku manusia dalam bentuk pikiran, perkataan, dan perbuatan yang harus disucikan. Dengan kata disucikan dimaksud disini bahwa pemikiran, perkataan, dan perbuatan manusia itu tidak boleh dinodai dengan jalan yang tidak baik. Dengan kata lain, seperti sudah disampaikan diatas pikiran, perkataan, dan perbuatan baik itu harus selalu dijadikan pedoman oleh Umat Hindu dalam mengarungi kehidupan didunia ini, sehingga terpelihara adanya kerukunan, ketentraman, dan kedamaian dalam bermasyarakat ( Suhardana, 2007: 25 ).
Tri Kaya Parisudha dapat juga dilihat dari segi Tri Kaya itu sendiri. Tri Kaya artinya tiga perbuatan. Tri artinya tiga, Kaya artinya perbuatan kegiatan atau wujud. Ketiga kegiatan dimaksud adalah Manah ( pikiran ), wak atau waca ( perkataan ) dan kaya ( perbuatan ). Ketiga hal ini dipandang sangat penting terutama dilihat dari asal usul timbulnya karma dan hubungannya dengan karma. Untuk memperoleh karma yang baik, maka perlu adanya pengendalian indriya. Dari ketiga unsur Tri Kaya itu maka yang paling penting adalah pikiran atau manah. Karena pikiran atau manah ini dipandang sebagai penggerak yang mempengaruhi cara kerja saraf otak bekerja yang menimbulkan respon yang berupa perkataan maupun perbuatan. Namun ketiga-tiga nya pikiran, perkataan, dan perbuatan itu harus dikendalikan dengan baik ( Pudja, 1981 : 291-293 ).
Tri Kaya Parisudha dapat diartikan pula sebagai tiga dasar perilaku yang harus disucikan yaitu Manacika ( Pikiran ), Wacika ( Perkataan ), dan Kayika ( Perbuatan ). Dengan adanya pemikiran yang baik akan menimbulkan perkataan yang baik juga, sehingga terwujudlah perbuatan yang baik ( Sukartha dkk, 2004 : 62 ). Jadi bahwa pemikiran, perkataan, dan perbuatan itu harus baik. Dengan pemikiran yang baik, orang akan berkata yang baik. Dengan pikiran yang baik, maka orang akan berbuat yang baik pula. Jadi semua dipengaruhi oleh pikiran. Karena itulah maka orang harus selalu menguasai dan mengendalikan pikirannya, menjaga gerakan dan ketenangan pikirannya, sebab hanya dengan pikiran yang terkendali, tenang, dan tenteram sajalah orang dapat berkatadan berbuat  baik dan benar. 
Itulah sebabnya, mengapa manusia perlu menjaga pikirannya, mengatur pikirannya, mengendalikan pikirannya dengan baik, sebagaimana ditegaskan dalam Kitab Manawa Dharmasastra berikut ini :
Sloka IV - 18
Wayasah karmano’ rthasya
Srutasyabhijanasya ca
Wesawag buddhi sarupyam
Acaran wicaredika
Artinya :
Berjalan didunia ini hendaknya menyesuaikan. Pakaian, kata-kata serta pikirannya agar sesuai dengan kedudukan dan kekayaannya. Sesuai pelajaran suci dan kewangsaannya.

Sloka XII – 3
Subhasubha phalam karma
Manowagdeha sambhawam
Karmaja gatayo nrnam
Uttama dhyamah
Artinya :
Karma yang lahir dari pikiran, perkataan dan perbuatan menimbulkan akibat baik atau buruk dengan karma yang telah menyebabkan timbulnya berbagai keadaan pada diri manusia.

Purana

 Purana berasal dari kata pura + ana menjadi kata purāna. “Pura”  berarti kuno atau jaman dan
 “ ana” berarti mengatakan. Jadi Purāna adalah Sejarah Kuno. Purāna juga berarti cerita kuno, penceritra sejarah, koleksi ceritra. Setiap ceritra Purāna intinya mengandung ajaran Agama.  Brahma Purāna merupakan Purāna yang pertama yang disusun. Maka dengan sendirinya Purāna ini disebut Ᾱdi Purāna. (Ᾱdi = pertama, awal). Sayangnya naskah asli Brahma Purāna ini tidak ada lagi. Sehingga naskah-naskah yang ada sekarang tidak seperti aslinya. Naskah menyatakan bahwa pemujaan Śiva dan Viṣnu di Negara bagian Orissa dan yang dikenal dalam sejarah mengatakan bahwa pemujaan seperti itu tidak pernah ada sebelum 600 th sebelum masehi. Paling tidak, itu tidak terjadi di Orissa. Naskah itu juga menyebutkan Kuil Sūrya yang terkenal di Konaraka, adalah kuil yang dibangun di tahun 1241 sebelum masehi. Ketika naskah asli Brahma Purāna itu hilang, tampaknya naskah itu dirancang ulang dengan bahan-bahan yang dikumpulkan dari Mahābhārata, Harivaṁsa, Vāyupurāna, Mārkandeya Purāna dan Viṣnu Purāna. Kitab ini mengandung legenda dan mitologi Hindu mengenai penciptaan alam semesta (sarga); proses penghancuran dan penciptaan kembali alam semesta secara periodik (pratisarga) sejarah Dinasti Surya dan Candra kisah para dewa, orang suci dan para raja kuno. Ajaran-ajaran agama Hindu dalam Purana ini disampaikan melalui sebuah cerita. Cerita tersebut dinarasikan oleh seorang resi bernama Romaharshana atau Lomaharshana, yang konon merupakan murid Resi Byasa.

Ajaran Yang Terkandung Dalam Lontar Wreti Sasana



PANCA YAMA BRATA
Panca yama brata terdiri dari dua kata yaitu dari kata Panca” berarti lima, “Yama” berarti pengendalian, dan “Brata” berarti keinginan. Panca yama brata adalah lima macam pengendalian diri tingkat pertama untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian jasmani. Panca yama brata harus dilakukan paling awal, karena setelah terbebas dari perbuatan-perbuatan yang kotor akan mampu membuat pikiran dan hati menjadi suci. Dengan kesucian pikiran dan hati terbebas dari beban perbuatan kotor yang dilakukan oleh badan jasmani akan mampu menenangkan pikiran dan pemusatan pikiran pun akan dapat dilakukan untuk melaksanakan kesucian bathin.
Di dalam Lontar Wreti Sasana, diuraikan rincian mengenai panca yama brata, adapun salah satu bunyi sloka dalam Lontar Wreti Sasana yaitu sebagai berikut:
              Sloka:
“Ahingsa ngaraning tan pamati-mati,brahmacaryya ngaraning tan keneng stri sangkan rare,mwang sang kumarwruhi mantra kabrahmacaryan, satya ngaraning tuhu mojar, awyawaharika ngaraning tan pawyawahara, astainya ngaraning tan chindra ring drewya ning len, ika ta kalima, yama bratha ngaranya, ling bhatara Rudra.”
Artinya :
Ahimsa artinya tidak melakukan pembunuhan, brahmacarya artinya tidak pernah menyentuh perempuan sejak kecil, dan memahami mantra kabrahmacaryan, satya artinya berkata jujur, awyawaharika artinya tidak bertengkar, astainya artinya tidak berniat jahat kepada milik orang lain, yang lima itu Yama Brata namanya, sabda bhatara Rudra.

1.      Ahimsa
 Kata ahimsa sudah tidak asing lagi didengar dalam masyarakat. Ahimsa berasal dari kata “a” yang berarti tidak dan “himsa” berarti membunuh atau menyakiti. Jadi Ahimsa berarti tidak membunuh ataupun menyakiti. Menurut ahimsa mengajarkan untuk tidak melakukan perbuatan, perkataan, dan pikiran yang dapat menyakiti orang ataupun mahluk lainnya. Melakukan perbuatan seperti menyakiti sangat dilarang oleh Agama Hindu. Apabila perbuatan. Perkataan, ataupun pikiran yang menyakitkan itu dilakukan tentunya akan terus membekas dalam alam pikiran yang akan membuat sipelaku selalu dalam keadaan bingung dan gelisah. Dengan keadaan seperti itu maka suatu ketenang pikiran tidak akan bisa tercapai.
Pembunuhan dapat dilakukan bila tidak didasari oleh dorongan nafsu dan indria, tetapi didasarkan pada sastra. Dalam lontar Wrtisasana terdapat pengecualian bahwa pembunuhan itu dapat dilakukan, yaitu :
1.      Dewa puja : yaitu pembunuhan dibenarkan untuk tujuan yajna atau     dipersembahkan  kepada tuhan
2.      Untuk kepentingan dharma
3.      Atiti puja   : yaitu untuk diberikan kepada tamu
4.      Menjalankan swadharma kehidupan rumah tangga
5.      Untuk kesehatan
6.      Melindungi diri dari segala ancaman pembunuhan
7.      Tidak dilatar belakangi oleh Sad Ripu.
Namun sebelum melakukan suatu pembunuhan terlebih dahulu melakukan upacara. Seperti di bali dikenal yang namanya Mapapada yaitu memberikan doa terhadap binatang yang akan dijadikan persembahan. Upacara mapapada dilakukan pada binatang yang berkaki empat seperti babi, sapi dan lain-lain.
Dengan cara tidak menyakiti ataupun membunuh, maka seseorang akan dapat lebih mudah mencapai ketenangan dan ketentraman hidup didunia ini baik lahir maupun batin.

2.      Brahmacari
Brahmacari atau Brahmacarya berasal dari kata “Brahma” yang berarti ilmu pengetahuan dan “cari” atau “carya” yang berarti bergerak. Brahmacari merupakan bergerak atau bertingkah laku dalam masa menuntut ilmu. Tarapan hidup dengan tahapan belajar dibedakan atas dua masa yaitu:
a.       Brahmacari saat usia lajang atau belum menikah
b.      Brahmacari pada masa berumah tangga.
Pada brahmacari yang memiliki pengertian pertama tersebut adalah masa menuntut ataupun masa belajar dari guru dan sastra agama. Pada masa ini harus benar-benar belajar tanpa menghiraukan kehidupan duniawi, dalam artian bahwa pada masa ini kita harus mampu mengendalikan diri dari segala godaan nafsu dunia agar konsentrasi dalam belajar dapat tercapai.
Tegasnya bagaimana perilaku seseorang dalam mempelajari ilmu   pengetahuan tentang ajaran-ajaran yang termuat dalam Kitab Suci Weda, yaitu selalu berpikir bersih dan jernih dan hanya memikirkan pelajaran atau ilmu pengetahuan saja serta tidak memikirkan masalah-masalah keduniawian. Karena itu, maka agar pikiran terpusat hanya kepada pelajaran, seorang Brahmacari tidak dibenarkan untuk kawin, berdagang dan berpolitik.
Adapun pembagian dari Brahmacari tersebut dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu:
*      Sukla Brahmacari adalah orang yang tidak kawin seumur hidup.
*      Sewala Brahmacari adalah orang yang hanya kawi sekali saja selama hidupnya, meskipun isterinya telah tiada.
*      Kresna/Tresna Brahmacari adalah orang yang kawi lebih dari satu kali sampai maksimal empat kali.
Dengan tidak memikirkan masalah-masalah keduniawian, maka seseorang akan lebih mudah untuk mengendalikan dirinya, dan lebih mudah untuk mencapai ketenangan dan ketentraman hidup didunia ini.
3.      Satya
Satya berarti setia, kejujuran, dan kebenaran. Satya ini harus dipelajari dan dilaksanakan khususnya bagi seorang calon diksa agar setelah natinya menjadi pandita dapat menjadi tauladan atau panutan bagi umatnya. Ajaran tentang kesetiaan, kejujuran dan menjaga suatu kebenaran akan dapat dilakukan setelah terbiasa. Jadi sebelum menjadi seorang pandita maka terlebih dahulu harus membiasakan diri untuk menjalankan ajaran satya. Dalam semboyan menyebutkan bahwa “ Satyam Eva Jayate Na Nrtan”. Artinya Kesetiaan yang menang bukan kebohongan/kejahatan
Ajaran satya ini dapat dibagi menjadi lima yang disebut dengan Panca Satya, yaitu
a.       Satya Laksana ; yaitu setia pada perbuatan. Hidup sebagai manusia yang dipengaruhi oleh triguna maka seringkali manusia tidak mengakui apa yang telah ia lakukan. Dalam satya laksana yang dipentingkan adalah bagaimana manusia mampu bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan. Maka berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Manusia juga harus jujur dan selalu melakukan perbuatan yang berdasarkan pada ajaran dharma. Segala bentuk perbuatan yang adharma harus bisa dikendalikan dengan menumbuhkan sifat satwam didalam diri.
b.      Satya Mitra : yaitu setia terhadap sahabat. Artinya dalam mencari sahabat hendaknya didasari atas kejujuran. Dewasa ini kebanyakan manusia dalam mencari teman hanya untuk kepentingan sendiri. Hal ini dikarenakan manusia hanya ingin mencari keuntungan dalam pertemanan sehingga ketika pada waktunya teman atau sahabat itu tidak memberikan suatu keuntungan maka ia akan meninggalkan temannya. Sikap inilah yang harus dikendalikan dan dihindari, karena tidak ada harta yang lebih berarti dari sahabat.
c.       Satya Wacana : yaitu setia terhadap kata-kata. Artinya manusia harus berbicara jujur, apa adanya dan sesuai dengan kebenaran. Kita harus mampu menghindari dan mengendalikan diri dari perkataan yang tidak benar, palsu ataupun memfitnah. Karena fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
d.      Satya Semaya : yaitu setia terhadap janji. Seringkali dalam kehidupan ini manusia memberikan janji-janji palsu dan ini sering dilakukan oleh calon wakil rakyat ataupun pemimpin. Ini harus dihindari, karena sekali berbohong akan menimbulkan kebohongan yang lain. Tidak mampu menepati janji akan selalu membawa kegelisahan dalam hati dan pikiran sehingga ketenangan yang diharapkan pun tidak dapat dicapai.
e.       Satya Hredaya : yaitu setia pa da kata hati. Seringkali kita dalam melakukan dan berkata bertentangan dengan kata hati. Pikiran yang tidak benar atau negative thinking harus dihindari. Karena pikiran yang tidak baik akan mendorong manusia untuk berkata dan berbuat yang bertentangan dengan dharma.
Dengan menjunjung tinggi kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran, seseorang akan lebih cepat dapat mengendalikan diri pribadinya, sehingga akan lebih mudah untuk mencapai ketenangan dan ketentraman hidup.
4.      Awyawahara
Awyawahara berasal dari kata “a” yang berarti tidak dan “wyawahara” yang berarti terikat dengan kehidupan duniawi. Jadi Awyawahara berarti tidak terikat pada kehidupan duniawi (tan awiwada). Dalam kehidupan ini harus mampu mengendalikan indria dari obyek duniawi. Karena bila indria yang mengendalikan manusia maka ia akan terjerumus dalam kesengsaraan. Kesengsaraan itu timbul dari dalam diri manusia yang tidak pernah merasa puas terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Ketertarikan terhadap benda duniawi akan membuat manusia selalu tenggelam dalam awidya.
Setelah menjadi seorang pandita, maka yang bersangkutan tidak dibenarkan melakukan kegiatan jual beli dengan tedensi keuntungan yang berlipat-lipat, simpan pinjam (rna rni) dan memperlihatkan kepandaian serta memupuk dosa kecuali menjaga harta warisan, menjaga keutuhan keluarga, dan kesejahteraan istri, anak dan cucu.
5.      Asteya
Asteya berasal dari kata “a” yang berarti tidak dan “steya” yang berarti mencuri atau memperkosa milik orang lain. Jadi Asteya berarti tidak mencuri atau memperkosa milik orang lain seperti angutil, anumpu, dan abegal. Dalam Silakrama disebutkan sebagai berikut :
"apabila seorang wiku berjalan jauh dan dalam perjalanan haus dan lapar lalu mengambil tumbuhan milik orang tanpa bilang hanya sebatas penghilang haus dan lapar maka ia terlepas dari dosa"
Ini berarti bahwa siapapun orangnya khususnya pandita diperbolehkan mengambil milik orang lain ketika ia merasa haus dan lapar dalam perjalanan jauh. Tetapi barang yang diambil hanya sebatas untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga. Tentu tidak dibenarkan barang yang diambil melebihi keperluan apalagi sampai dijual. Segala perbuatan hendaknya tidak didasari oleh sad ripu.
Jadi segala keinginan untuk mengambil ataupun memperkosa milik orang lain yang didasari oleh sad ripu harus dikendalikan. Dengan cara pengendalian diri seperti ini( tidak mencuri atau ingin memiliki barang orang lain), maka seseorang akan mendapatkan kesejahteraan hidup lahir maupun batin.
 PANCA NIYAMA BRATA  
Panca Niyama Brata mempunyai arti lima macam pengendalian diri lanjutan (tahap kedua) dalam tingkat mental, untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin. Dengan maksud mengetahui hakekat dirinya sendiri yaitu dalam mencapai Dharma dan Moksa. Panca Nyama Brata adalah untuk mengendalikan semua akibat – akibat buruk yang ditimbulkan oleh mental dan pikiran.
Didalam Wrhspati Tattwa 61 menyebutkan bahwa:
“ Akrodha Gurususrusa Saucam Aharalaghawam Apramadas ca Pancaite Nyama Parikirtitah”.
Artinya :
Akrodha, Gurususrusa,  Sauca,  Aharalaghawa, Apramada disebut juga Panca Yama Brata.
1.      Akroda          
                        Akroda berasal dari kata “a” yang berarti tidak dan “kroda” yang berarti marah. Jadi Akroda artinya tidak marah, atau tidak mempunyai sifat marah. Dengan kata lain mampu mengendalikan sifat – sifat marah. Salah satu dari sifat – sifat marah adalah mudah tersinggung. Sifat inilah yang harus dikendalikan sehingga manusia tidak mudah marah. Dengan mampunya manusia menahan sifat marah maka manusia akan mempunyai jiwa yang sabar.
                        Kesabaran adalah sifat yang mulia. Orang sabar tidak mudah tersinggung, sehingga akan disenangi oleh teman – teman. Orang yang diajak bicara akan merasa senang. Ia akan selalu tenang dalam menghadapi segala masalah. Pekerjaan dikerjakan dengan rasa tenang sehingga akan menghasilkan yang baik. Seperti apa yang diuraikan dalam “Kitab Sarasamuccaya” sloka 94, sbb : “ Kesabaran hati merupakan kekayaan yang sangat utama, itu sebagai emas dan permata. Orang yang mampu mengendalikan nafsu ( kemarahan), tidak ada yang melebihi kemuliaan”. Oleh karena itu kemarahan harus dikendalikan. Dengan tumbuhnya kemampuan mengendalikan kemarahan menyebabkan tumbuhnya kebijaksanaan pada orang itu.
Didalam Weda dikatakan bahwa :
“Orang yang tidak pemarah dan sabar adalah bersifat pemaaf. Orang yang sabar akan selalu dapat berpikir baik. Tidak terpengaruh oleh nafsu dan perasaan hati. Ia akan berbuat baik oleh karena itu orang sabar luhur budinya, banyak pahalanya”.
Dengan mengalahkan sifat marah yang ada dalam diri seseorang, maka seseorang akan lebih mudah untuk mencapai ketenangan dan ketenteraman lahir maupun batin.
2.  Guru Susrusa.
Guru Susrusa artinya hormat dan bakti terhadap guru. Guru Susrusa juga berarti mendengarkan atau menaruh perhatian terhadap ajaran – ajaran dan nasehat guru.
Siswa yang baik akan selalu berbakti dan memperhatikan sikap hormat terhadap gurunya. Mempelajarai apa yang diajarkan. Dalam hal Guru, biasanya ada empat macam guru yang disebut Catur Guru : yaitu Guru Rupaka yaitu orang tua, Guru pengajian yaitu Bapak dan Ibu Guru disekolah, Guru Wisesa adalah pemerintah, dan yang stunya Guru Swadyaya yaitu Tuhan (Sang Hyang Widhi )
Anak yang hormat dan bakti terhadap Guru diberikan gelar anak yang Suputra, sedang anak yang menentang terhadap Guru disebut Alpaka Guru, hukumannya sangat berat dalam alam Neraka nantinya. Sedang anak yang Suputra akan mendapatkan tempat yang baik di sorga maupun di masyarakat, karena sangat berguna bagi nusa dan bangsa. Marilah kita kenali satu persatu dari Catur Guru yang harus kita hormati.
Ø  Guru Rupaka
Guru Rupaka sering pula disebut “ Guru Reka “ yaitu orang gyang sangat besar jasanya, orang yang menyebabkan kita lahir ke dunia. Betapa besar pengorbanan dan tanggung jawabnya terhadap anak. Dalam kitab “ Kakawin Nitisastra “ disebutkan ada lima jasa orang tua terhadap anaknya, sebagai usaha agar anaknya tumbuh sebagai suputra. Kelima jasa orang tua itu disebut “ Panca Widha yaitu “ Ametwaken “ artinya melahirkan matulung urip “ artinya menolong jiwa (anak ) dari bahaya. “ maweh bhinojaya “ artinya memberi makan dan minum, Mangupadyaya “ artinya mengajar dan mendidik ( menyekolahkan ) anak dan “ Anyangaskara “ artinya mengupacarai.
Demikian besarnya jasa orang tua yang melahirkan kita, maka kita wajib menghormati dan patuh kepadanya, tiada yang dapat melebihi kasih sayang orang tua terhadap anaknya.
Ø  Guru Pengajian
Adalah Bapak dan Ibu yang memberikan ilmu pengetahuan dan mendidik di sekolah. Guru pengajian yang menyebabkan kita menjadi pandai dan berguna bagi nusa dan bangsa. Kita bisa membaca dan menulis berkat jasanya. Guru memberikan ilmu pengetahuan kepada muridnya sehingga murid menjadi pandai dan terhindar dari kebodohan. Hilangnya kebodohan berarti lenyaplah penderitaan. Maka hormati beliau dengan cara yang tekun dan mentaati tata tertib sekolah.
Ø  Guru Wisesa
Adalah pemerintah sebagai anggota masyarakat kita wajib menaati segala peraturan yang mengatur tertib bermasyarakat. Peraturan – peraturan itu yang mengatur agar hidup bermasyarakat menjadi aman, tentram dan harmonis.
Bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang selalu taat dan patuh terhadap peraturan dan perundang – undangan yang berlaku. Yang bertugas melaksanakan peraturan itu adalah pemerintah. Betapa berat tugas pemerintah menjaga keamanan dan ketertiban itu. Oleh karena itu, kita patut mentaati peraturan yang berlaku.
Ø  Guru Swadyaya
Sang Hyang Widhi disebut Guru Swadyaya. Beliau pencipta, pemelihara dunia beserta isinya. Semuanya ini karena Sang Hyang Widhi. Oleh karena itu, harus sujud bakti kepadaNya.
3.  Sauca
Sauca berasal dari kata “ SUC “ yang artinya bersih, murni atau suci. Jadi yang dimaksud Sauca adalah Kesucian dan kemurnian lahir batin.
Dalam Silakrama disebutkan sebagai berikut :                          
“ Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dibersihkan dengan ilmu dan tapa, brata, yoga, dam Samadhi, dan akal dibersihkan dengan kebijaksanaan. “
Banyak yang dapat kita usahakan untuk mencapai kesucian lahir maupun batin. Kesucian lahir ( jasmani ) dapat kita capai dengan selalu membiasakan hidup bersih., misalnya mandi yang teratur, membuang sampah pada tempatnya dsb. Sedangkan kesucian batin ( rohani ) dapat dilakukan dengan rajin sembahyang, menghindari pikiran dari hal – hal negatif.
Dengan jalan mengusahakan kesucian lahir batin kita akan mudah mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Widhi. Kebersihan jasmani atau lahiriah akan mendatangkan kesehatan, maka ada istilah “ Kebersihan Pangkal Kesehatan “. Adanya kesehatan inilah kita akan banyak berbuat baik.
Dengan kesehatan kita akan bisa belajar dengan baik untuk mencapai cita – citanya. Dengan kesehatan jasmani kita juga mampu melaksanakan Tapa, Brata, Yoga dan Semadi, untuk mendapatkan kesucian batin.

4. Aharalaghawa
Aharalaghawa brasal dari kata “Ahara” artinya makan, dan “Laghawa” artinya ringan. Jadi Ahara Lagawa artinya makan yang serba ringan dan tidak semau – maunya. Makan yang sesuai dengan kemampuan tubuh. Ahara Lagawa berarti juga mengatur cara dan makanan yang sebaik – baiknya. Lawan dari Ahara Lagawa adalah kerakusan. Kerakusan akan menghalangi dan merintangi kesucian batin.
Disamping makan berlebihan menyebabkan sakit. Agar badan menjadi sehat, makanlah makanan yang banyak mengandung gizi. Orang yang makan teratur dan bergizi badannya menjadi sehat dan pikirannya menjadi segar dan cerdas. Sebaliknya orang yang makan  berlebihan, tidak teratur dan suka minum minuman keras seperti arak, bier dan sejenisnya, maka badannya menjadi sakit dan sarafnya terganggu. Serta pikiranpun menjadi kacau.
Sehingga dalam kitab Bhagawad Gita Bab XVII, 8 disebutkan jenis – jenis makanan yang patut dimakan agar menjadi orang yang bijaksana dan memiliki sifat luhur( Satwika).
Dalam Bhagawadgita disebutkan:
“ Apare nayataharah pranan pranesu juhvati sarva py ete yajnavido yajnaksapitakalmasah”.
                                                                                                 ( Bhg. IV. 30)
Artinnya :
“ Yang lainnya laagi dengan cara pembatasan makanan member sebagai korban(yadnya) prama didalam prana sendiri. Semua ini adalah orang-orang yang mengetahui tentang korban dan dengan pengorbanan menghancurkan dosanya.”
Didalam kitab Silakrama diuraikan panjang lebar mengenai aturan – aturan makan dan minum. Disebutkan pula binatang yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan.
Demikian pentingnya pengendalian dalam hal makan, maka ada salah satu cara pengendaliannya yaitu dengan melakukan “ Upawasa “ artinya tidak makan dan minum, yang biasanya dilakukan pada waktu Hari Raya NYepi.
Makanan yang baik, adalah makanan yang sudah dipersembahkan, makan yang tidak menyebabkan diri sakit, makanan yang mengandung protein, Makan makanan yang serba ringan sebenarnya untuk meringankan beban pekerjaan pencernaan untuk mempermudah mendapat ketentraman perasaan dan kesucian batin.
6.      Apramada
     Apramada artinya tidak bersifat ingkar atau mengabaikan kewajiban, maksudnya selalu ingat dengan tugas dan kewajiban kita. Apramada ialah tidak segan – segan untuk mempergunakan hidup itu sebagai Sadana / jalan guna melakukan Yoga dan Samadi. Seorang siswa harus tidak segan – segan untuk menurut ajaran dan nasehat guru. Tidak boleh segan mengucapkan berkali – kali menghafal dan mengulangi pelajaran yang diberikan oleh guru. Tidak boleh segan – segan bertanya bila ada suatu persoalan yang belum jelas. Dengan berusaha melaksanakan kewajiban sendiri ( Swadharma ) dan menghormati kewajiban orang lain ( para dharma ), maka keharmonisan akan dapat dicapai, yang pada akhirnya kebahagiaan juga akan dapat dicapai.
Dalam kitab Bhagawad Gita Bab XVIII, 47 disebutkan :
“Lebih baik swadharma diri sendiri meskipun kurang sempurna dari pada dharma orang lain yang sempurna pelaksanaannya. Karena seseorang tidak akan berdosa jika melakukan kewajiban yang telah ditentukan oleh alamnya sendiri”.
“Sloka diatas menegaskan agar kita melaksanakan kewajiban sendiri seperti sebagai pelajar maka laksanakan kewajiban sebagai pelajar, jangan lalai, jika sebagai pelajar melalaikan kewajiban sebagai pelajar, maka kita berdosa dan menjadi bodoh”
Adapun kewajiban – kewajiban yang harus dilakukan oleh siswa kerohanian adalah :
1.      Arcana, artinya memuja dan pemujaan yang terpenting adalah pemujaan kepada Sang Hyang Widhi.
2.      Adhyaya, artinya belajar
3.      Adhyapaka, artinya mengajar ( misal mengajar adik )
4.      Swadyaya, artinya belajar sendiri. Rajin belajar dan mengulangi pelajaran yang telah disampaikan.
Kewajiban – kewajiban ini tidak boleh diabaikan oleh siswa kerohanian dan bahkan harus selalu diingat dan dilaksanakan agar benar – benar tercapai kesempurnaan rohani dan kesucian batin.
Demikian uraian Panca Nyama Brata yang merupakan kesusilaan untuk mencapai kesempurnaan rohani dan kesucian batin untuk mencapai dharma dan moksa yang merupakan tujuan akhir ajaran Hindu